Sejarah KB Indonesia yang Menjadi Champions
Adalah Margaret Higgins Sanger (1879-1966), kelahiran Amerika Serikat, birth control activist, pendidik seksual, penulis dan bidan praktek di salah satu klinik kebidanan Kota New York. Sanger lebih terkenal dengan aktifis keluarga berencana (birt control), orang pertama yang membuka dan memberi pelayanan keluarga berencana (kontrasepsi) di Amerika Serikat dan mendirikan organisasi yang kemudian di beri nama “Planned Parenthood Federation of Amerika”, di Indonesia dikenal dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Margaret Sanger, adalah orang pertama yang memperkenalkan dan melaksanakan praktek “birth control”, setelah pengalaman praktek kebidannya menyaksikan sendiri tangisan dan kesedihan atas tingginya angka kematian ibu ketika bersalin.
Pengaruhnya hadir di Indonesia disekitar tahun 1950-an akhir, ketika terbentuknya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (Indonesian Planned Parenthood Federation) pada tanggal 23 Desember 1957, lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi, yang lahir atas kepedulian dan perhatian sekelompok tokoh masyarakat dan ahli kesehatan terhadap masalah kependudukan dan tingginya angka kematian ibu hamil dan melahirkan, serta kematian bayi di Indonesia waktu itu. Pada saat itu, disadari bahwa pemerintah belum memiliki kebijakan yang khusus tentang pengaturan kelahiran dan menangani masalah kependudukan, keluarga berencana hanya dilihat sebagai upaya membatasi kelahiran semata dan sebagian masyarakat menganggap sebagai perampasan terhadap hak-hak kemerdekaan yang baru saja dinikmati bangsa Indonesia.
Di sisi lain, pada priode yang sama pemerintah belum neyadari manfaat keluarga berencana bagi peningkatan kualitas hidup warga negara. Hamil dan melahirkan dipahami sebagai tugas mulia perempuan untuk melahirkan jutaan generasi baru yang akan mengelola sumber daya alam yang melimpah dan dapat dijadikan alat untuk mengangkat harkat dan citra Indonesia di pergaulan internasional.
Pada tahun 1970 pemerintah hadir dalam menangani program keluarga berencana dengan semua lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, pemerhati dan provider kesehatan. Di awal berdirinya BKKBN, pendekatan keluarga berencana terfokus pada penanggulangan kematian ibu hamil dan bersalin melalui program Kesehatan Ibu dan Anak, menjadi pasangan ideal kementrian kesehatan dalam percepatan penurunan Maternal Mortality Rate (MMR) dan Infant Mortality Rate (IMR). MMR dan IMR yang tinggi disebabkan oleh tingginya angka kelahiran total (Total Fertility Rate) sebesar 5,6 perwanita subur. Program BKKBN yang memback-up penurunan angka kematian ibu hamil dan bayi mendapat perhatian dan bantuan dunia internasional melalui lembaga donor dan agency yang berafiliasi dengan kantor PBB di NewYork.
Pada awal tahun dan dekade 1980-an, pendekatan keluarga berencana mengalami progress dengan pendekatan kesejahteraan keluarga. Dengan tidak meninggalkan pendekatan kesehatan ibu dan anak, dicanangkanlah berbagai kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, antara lain peningkatan pendapatan keluarga akseptor (UPPKA), usaha peningkatan gizi keluarga (UPGK), program bina keuarga balita (BKB), pendidikan KB melalui pramuka, pelayanan integrasi kelapa hibrida, keluarga berencana pertanian, keluarga berencana koperasi. Sehingga dimulailah program kegiatan “Pertasi-kencana” untuk memberi penguatan bahwa keluarga berencana dapat memberi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan keluarga baik langsung maupun tidak langsung. Ini berlangsung sampai dengan awal tahun 1990-an dengan terbitnya Undang-Undang nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Regulasi telah memberi legitimasi kepada BKKBN untuk menyelenggarakan pembangunan keluarga dengan titik beratnya adalah pemberdayaan keluarga dan peningkatan ketahanan keluarga. Program pendidikan dan pengasuhan orang tua menjadi penting disamping tetap bekerja untuk menurunkan angka kelahiran yang pada dekade ini sudah berada di angka 2,6 perwanita subur, berarti pula selama 2,5 dekade BKKBN berhasil menurunkan lebih dari 50% TFR dibandingkan dengan tahun 1970. Intensifikasi dan ekstensifikasi pelayanan KB dilakukan dengan gerakan serentak dan menyeluruh bersama dengan jajaran TNI/Polri, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat dan kementrian/lembaga pemerintah.
Puncak capaian dan keberhasilan program KB Indonesia, di penghujung tahun 1980-an adalah diterimanya penghargaan PBB (The United Nations) bidang Kependudukan oleh Presiden RI Soeharto, The United Nations Award ini menjadi pemicu dan pemacu semangat para pemeran keluarga berencana Indonesia yang terdiri tokoh masyarakat, para kader, provider, petugas lapangan dan mitra kerja terkait. Memasuki tahun 1990-an program KB memasuki priode keemasan, banyak negara-negara sahabat yang minta (resquest) datang ke Indonesia untuk program “Observation Study & Training (OST)”, dalam catatan Pusat Pelatihan dan Kerjasama Internasional terdapat hampir 500 angkatan pelatihan dari hampir 100 negara yang mengikuti OST di Indonesia dengan beberapa provinsi sebagai wilayah andalan (kunjungan observasi dan rekreasi).
UU 10/1992, juga menjadi senjata ampuh bagi BKKBN untuk merekrut puluhan ribu tenaga lapangan baik yang berlatar belakang medis (bidan dan perawat) dengan sebutan PLKB Medis, juga yang berlatar belakang sarjana, dengan sebutan Ajun Penyuluh Keluarga Berencana, yang sebagian dari mereka hari ini menduduki jabatan tinggi kepemerintahan dan bahkan menjadi pejabat setingkat bupati/walikota, wakil bupati/wakil walikota, sekretaris daerah dan pejabat tinggi lainnya. Jumlah tenaga lapangan mencapai puncaknya sebanyak 40.000 orang dengan ratio PLKB per desa adalah 1-2 orang.
Pada pertengahan tahun 1990, dengan tetap meng-akselerasi pembangunan keluarga sejahtera, pendekatan keluarga berencana semakin diperkuat dan mengalami perkembangan dengan pendekatan hak-hak asasi manusia. The International Conference for Population and Development (ICPD) 1994 Kairo memberi signal dan komitmen bahwa keluarga berencana adalah bagian esensial dalam pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi yang dikenal dengan Reproductive Health Right. Angka unmet need keluarga berencana yang masih tinggi menjadi perhatian pemerintah untuk mewujudkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan.
Pada pertengahan tahun 1990-an pula, BKKBN mendapat kepercyaan pemerintah dan pihak swsata menyalurkan dana iyuran sosial perusahaan atas Kesepakatan Jimbaran dengan program Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra), Kredit Keluarga Sejahtera (Kukesra) dan Kredit Kemitraan Usaha (KKU). Kegairahan program “income generating family” melalui kelompok usaha peningkatan keluarga sejahtera (UPPKS) mencapai puncaknya, tumbuh dan berkembang aktiiftas usaha dalam keluarga atas binaan dinas koperasi dan perindustrian, lembaga swadaya masyarakat dan tokoh-tokoh wirausahawan.
Masa transisi reformasi di akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, program KB Indonesia (BKKBN) mengalami “turbulency dan stagnancy” yang cukup lama. Eforia reformasi dan desentralisasi memberi pengaruh dan dalam bahasa yang lebih ektrim memberi pukulan telak walaupun tidak sampai knock-down. Para petinggi BKKBN berusaha untuk “rebound”, sehingga pada tahun 2009 mucul amandemen UU 10/1992 menjadi Undang-Undang nomor 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Penataan ulang system, kelembagaan dan sumber daya manusia dilakukan pasca terbitnya UU 52/2009, bersamaan juga BKKBN menyesuaiakan dengan penataan sistem kepemerintahan pasca reformasi. Banyak UU yang meminta BKKBN untuk menjadi bagian dari reformasi dan desentralisasi seperti UU nomor 36 tentang Kesehatan, UU 23/2014 Pemerintahan Daerah, UU nomor 6 tentang Desa, Undang-undang nomor 17/tahun 2003 tentang anggaran dan turunannya UU APBN.
Di dekade 2010-an, khususnya di bagian terakhir, era revolusi industri 4.0 yang diikuti dengan menguatnya pengaruh gerenasi milenial dan zilenial, mengharuskan BKKBN menyesuaikan dan mengakomodasi perkembangan lingkungan strategis baru. Memenuhi selera dan dinamika masyarakat, BKKBN telah mempersiapkan “New Branding; Corporate Culture; Restrukturisasi Kelembagaan; dan Sebutan Baru” yang akan menjadi senjata dan “sanggurdi”, untuk mengendalikan pergerakan dan pemenuhan kebutuhan serta kemajuan BKKBN menyonsong puncak bonus demografi dan Indonesia Emas. Sebutan baru itu adalah “Bangga Kencana”, pembagunan keluarga, kependudukan dan keluarga berencana. Sejarah telah memberi makna, cita-cita memberi harapan dan semangat memberi kepastian.
Oleh :
H. Nofrijal, MA
Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama/IV-e